Arsip Blog

Kontak Bahasa


            Kontak bahasa menurut Mackey (dalam Suwito, 1982:39) adalah pengaruh bahasa lain baik secara langsung maupun tidak langsung sehingga menimbulkan perubahan bahasa yang dimiliki oleh ekabahasawan. Bahasa satu dengan lainnya saling berinteraksi karena adanya suatu persentuhan.
            Bahasa dapat hidup karena adanya interaksi sosial. Dengan adanya interaksi tersebut maka bahasa dituturkan oleh penuturnya. Masyarakat tutur yang terbuka, artinya para anggota masyarakat dapat menerima anggota lain, baik satu atau lebih dari satu masyarakat atau lebih dapat menerima anggota lain baik satu atau lebih dari satu masyarakat, akan terjadi apa yang disebut kontak bahasa (Chaer: 1994:65). Sedangkan masyrakat tutur tertutup, artinya tidak tersentuh masyarakat yang lain akan menjadi masyarakat tutur yang berstatus dan monolingual.
3. Variasi Bahasa
            Pemakaian bahasa dalam kehidupan masyarakat,baik dalam bentuk maupun maknanya selalu menunjukkan perbedaan. Didalam berkomunikasi setiap orang pasti akan mengganti ragam bahsanya sesuai dengan kebutuhan dan tujuannya.
                        Menurut Nababan (1986: 13), terjadi variasi bahasa disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu: daerah asal penutur, kelompok atau keadaan sosial penutur, situasi berbahasa atau tingkat formalitasnya, dan waktu terjadinya tuturan.
a. Idiolek
            Idiolek adalah variasi bahasa yang disebabkan karena adanya perbedaan pribadi penuturnya (Poedjasoedarmo, 1978:9). Menurut Chaer (1994:55) mengartikan idiolek sebagai variasi bahasa atau ragam bahasa sesuai dengan ciri-ciri khas masing-masing individu.
b. Dialek
            Dialek adalah variasi bahasa yang digunakan oleh sekelompok anggota masyuarakat pada suatu tempat atau waktu (Chaer, 1994:55). Poedjasoedarmo (1978:5) mengartikan dialek sebagai variasi bahasa yang ditentukan oleh latar belakang sipenutur.
c. Sosiolek
            Sosiolek adalah variasi bahasa yang disebabkan adanya perbedaan kelas sosial penuturnya (Suwito, 1982:21). Dalam berkomunikasi antar masyarakat pasti ada kesenjangan yang menyebabkan perbedaan tuturan antara satu orang dengan orang yang lainnya. Hal tersebut antara lain karena pekerjaan, usia, jenis kelamin, pendidikan dll. Menurut Poedjasoedarmo (1979:3), yang dimaksud dengan tingkat tutur adalah variasi bahasa yang disebabkan oleh adanya perbedaan sikap santun penutur tehadap lawan bicaranya.
            Poedjasoedarmo (1979:13) membagi tingkat tutur bahasa Jawa dalam beberapa tingkatan, yaitu sebagai berikut:
Tingkat tutur bahasa Jawa
1. Ngoko
·         Ngoko lugu
·         Basa Antya
·         Antya Basa
2. Madya
·         Madya Krama
·         Madyantara
·         Madya Ngoko
3. Krama
·         Krama lugu (kramantara)
·         Krama Alus (muda krama)
·         Wreda Krama
Pembagian masing-masing tingkat sebetulnya hanya pembagian kasar saja, karena dalam kenyataanya masing-masing tingkat tutur merupakan satu kontinum kisaran tingkat. Masing-masing bentuk tingkat tutur memiliki makna tertentu antara satu dengan yang lainnya. Penggunaan masing-masing tingkat tutur bahasa Jawa disesuaikan dengan status sosial dan kondisi yang menyertai peristiwa komunikasi yang sedang berlangsung. Sehingga dalam penelitian ini tingkat tutur yang digunakan dibedakan sebagai berikut.
1.      Ngoko
Tingkat tutur ngoko ini menggunakan kata ganti, kata-kata dan imbihan yang semuanya ngoko. Tingkat ini mencerminkan rasa yang tidak berjarak antara O1 dan O2, atau dapat dikatakan O1 tidak segan terhadap O2. Contohnya, guru terhadap murid, orang tua terhadap anaknya, atau keakraban antar teman.
2.      Madya
Tingkat tutur madya ini adalah tingkat tutur tengan antara ngoko dan krama. Bagi kebanyakan orang, tingkat ini dianggap tingkat setengah sopan dan setengah tidak. Contoh pemakainnya, seperti antar orang desa yang perlu dihormati, kepala kantor terhadap rekan yang lebih muda, yang berbeda umur dan lain sebagainya. Kata-kata yang digunakan dalam tingkat tutur madya menggunakan wancah atau menggunakan kata tugas madya seperti nika,niku, teng, sampun, onten dan sebagainya.
3.      Krama
Tingkat tutur krama adalah tingkat tutur yang menggambarkan arti tutur yang penuh sopan santun. Tingkat ini menandakan adanya perasaan segan O1 terhadap O2, sehingga menimbulakan jarak antar keduanya. O1 harus menghormati O2 karena lebih tua, priyayi, berwibawa dll.
d. Fungsiolek
   Martin Joss (dalam Nababan, 1986:22-23) membagi fungsiolek dalam bahasa  Inggris berdasarkan tingkat formalitasnya menjadi 5 tingkat, yaitu frozen, formal, consultative,casual dan intimate. Dalam bahasa Indonesia berturut-turut berarti: ragam beku, resmi,usaha, santai dan ragam akrab.
1.      Ragam beku (frozen) ialah ragam bahasa yang paling resmi yang digunakan dalam situasi-situasi yang khidmad dan upacara-upacara resmi. Dalam bentuk tertulis ragam beku terdapat dalam dokumen-dokumen bersejarah, seperti Undang-Undang Dasar 1945 dan dokumen-dokumen penting lainnya.
2.      Ragam resmi (formal) ialah ragam bahasa yang biasa digunakan pada suasana resm, seperti pidato-pidato resmi, rapat dinas dan sebagainya (Poedjasoedarmo, 1978:12). Oleh karena resmi maka menggunakan kaidah kebahasaan yang resmi.
3.      Ragam usaha (consultative) ialah ragam bahasa yang lazim digunakan dalam interaksi kegiatan sehari-hari, misalnya disekolah, tempat kerja, pasar maupun rapat-rapat usaha yang berorientasi pada hasil atau produk.
4.      Ragam santai (casual) ialah ragam bahasa santai antar teman dalam berbincang-bincang, rekreasi, olahraga dan sebagainya. Ragam santai banyak menggunakan bentuk kata ujaran yang dipendekkan dan kosakatnya banyak dipengaruhi unsur dialek dan unsur daerah.
5.      Ragam akrab (intimite) ialah ragam bahasa yang biasa digunakan oleh para penutur yang hubungannya sangat akrab. Ragam ini ditandai dengan penggunaan bahasa yang tidak lengkap, tidak baku dan diucapkan dengan artikulasi yang tidak jelas, cukup dengan ucapan-ucapan yang pendek.
4. Bahasa Lisan
            Gagasan, pikiran, perasaan pada awalnya hanya berupa sebuah wacana yang terdapat diotak atau pikiran seseorang, hal tersebut kemudian diekspresikan melalui bunyi bahasa kepada orang lain sehingga dengan proses tersebut terciptalah komunikasi sebagai sarana pemahaman antar manusia. Bunyi bahasa yang telah didengar  tersebut kemudian mendapatkan tanggapan dari pendengarnya, dengan pemahaman dan apresiasi pendengar maka peristiwa komunikasi lisan telah terjadi (Siti Mulyani dan Nurhidayati, 2005:4).
Komunikasi lisan tidak serta merta hanyalah komunikasi dengan bertatap langsung, komunikasi langsung juga bisa melalui mesin telepon maka peristiwa sampainya suatu pesan dari seorang pembicara sampai pada tahap pemahamannya melalui pesan lisan.
Sedangkan proses komunikasi lisan secara langsung dapat dijelaskan, seseorang sebagai pembicara (pemberi informasi) mempunyai gagasan pada pikirannya atau perasaan yang ingin disampaikan kepada orang lain. Gagasan (informasi) tersebut kemudian dirumuskan dalam bentuk sandi (bagi orang yang berbahasa Jawa sandi berupa bahasa Jawa ataupun bagi orang yang berbahasa Indonesia maka swandi berupa bahasa Indonesia) bahasa Jawa maupun bahasa Indonesia sama-sama berperan sebagai penyandi. Hasil perumusan yang berupa pernyataan tersebut berupa pesan. Pesan tersebut disampaikan oleh pembicara kepada lawan bicaranya melalui saluran udara atau gelombang bunyi. Bunyi tersebut diterima oleh lawan bicara atau penerima pesan dapat menerima pesan yang disampaikan oleh pembicara.

5. Alih Kode
a.      Pengertian Alih Kode
Menurut Rahardi (2001:22) dalam Maharani (2003:1) kode sebenarnya merupakan varian bahasa, seperti tingkat tutur dan ragam bahasa. Tingkat tutur ini terdapat didalam masyarakat Jawa yang lebih dikenal dengan unda-usuk, sedangkan ragam bahasa berupa register, dialek, sosialek, fungsiolek, dll. Maka dapat disimpulkan bahwa kode adalah penanda yang memiliki fungsi latar belakang sosial. Wujud kode tidak selalu bahasa, kode dapat berupa ragam, dialek, register, bahasa itu sendiri. Kode merupakan penanda tuturan yang mempunyai struktur kebahsaan.
Penggunaan bahasa dari bahasa resmi ketidak resmi atau dari ragam suatu bahasa kebahasa yang lain disebut alih kode. Menurut Chaer (1994:67) alih kode adalah beralihnya penggunaan suatu kode (entah bahasa ataupun ragam bahasa tertentu) kedalam kode merupakan penggunaan variasi bahasa lain atau bahasa lain untuk menyesuaikan diri dengan peran yang berbeda.
Kamarudin (1989: 59) menyatakan bahwa alih kode terjadi pada tingkat kata, frase, kalimat, atau beberapa kalimat.
Berdasarkan penjelasan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa peristiwa alih kode memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1.      Masing-masing kode atau bahasa mendukung fungsi sendiri-sendiri sesuai dengan konteks.
2.      Fungsi masing-masing kode atau bahasa disesuaikan dengan situasi yang relevan dengan perubahan konteks kebahasaan.
3.      Unsur bahasa yang terlibat dalam alih kode sebagian besar berupa kalimat.
b.      Jenis-jenis Alih Kode
Berdasarkan sifat momentum dan jarak hubungan antar penutur, Poedjasoedarmo (1978: 22 dan 31) membagi alih kode menjadi 2:
1.      Alih Kode Sementara
Alih kode sementara adalah pergantian bahasa oleh penutur yang berlangsung sebentar saja, meskipun juga kadang-kadang berlangsung lama. Misalnya seorang penutur yang berbicara menggunakan Bahasa Jawa, tiba-tiba karena hadir O3 kemudian menggunakan bahasa Indonesia.
2.      Alih Kode Permanen
Alih kode permanen terjadi apabila penutur secara tetap mengganti kode bicaranya terhadap lawan tutur. Berbeda dengan alih kode sementara alih kode permanen jarang sekali terjadi. Hal ini disebabkan alih kode permanen mencerminkan pergantian status penutur dan sifat hubungan anta penutur. Dicontohkan oleh Poedjasoedarma (1978:32), bahwa di Jawa,seorang teman yang suatu ketika menjadi menantu, bekas kenalan yang kemudian menjadi suami atau istri, teman sepermainan waktu kecil yang kemudian menjadi atasannya, dapat mengganti kode bahasa yang digunakan secara permanen.
Menurut Suwito (1983:69), alih kode berdasarkan asal bahasanya dapat dibagi menjadi 2:
1.      Alih kode intern
Alih kode intern adalah pergantian atau peralihan pemaknaan bahasa yang terjadi pada bahasa-bahasa daerah dalam satu bahasa nasional atau pergantian bahasa dialek-dialek dalam satu bahasa daerah atau pergantian ragam bahasa dalam satu dialek. Bagi penutur yang menguasai  lebih dari 1 bahasa biasanya akan melakukan peralihan dari bahasa satu kebahasa lainnya sesuai dengan situasi yang melatar belakanginya.
2.      Alih Kode Ekstern
Alih kode ekstern adalah peralihan pemakaian bahasa yang terjadi antara bahasa asli (bahasa yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari) dengan bahasa asing. Didalam masyarakat Indonesia sering terjadi alih kode ekstern, terutama bagi penutur yang menguasai bahasa asing disamping bahasa Indonesia. Perpindahan kode tersebut tergantung pada situasi dan kondisi yang sesuai untuk memakai atau menggunakan bahasa-bahasa tersebut.
c.       Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya alih kode
            Suwito (1983:72) mengatakan bahwa faktor yang menyebabkan terjadinya alih kode adalah:
1. Penutur (O1)
Seorang penutur ketika berbicara dengan lawan bicara kadang-kadang dengan sadar mengganti bahasanyadengan maksud tertentu, seperti mengkritik, merayu, merendahkan diri, menyindir, menghormati dan sebagainya.
2. Lawan tutur (O2).
            Setiap penutur pada umumnya akan berusaha mengimbangi bahasa yang digunakan oleh lawan bicaranya. Oleh karena itu bagi penutur yang menguasai lebih dari satu bahasa biasanya akan berusaha mengganti kode bahasanya sesuai dengan bahasa lawan bicaranya.
3. Hadirnya penutur ketiga (O3).
            Dua orang dari daerah yang dsama biasanya akan berinteraksi menggunakan bahasa daerahnya. Namun, ketika hadir pihak ketiga yang berbeda latar kebahasaanya, maka kedua orang yang pertama akan mengganti kode bahasanya mereka kebahasa yang dikuasai pihak ketiga.
4. Pokok Pembicaraan (topik).
            Bagi seorang suku Jawa yang sudah lancar berbahasa Indonesia sering menggunakan bahasa Indonesia ketika sedang bercakap-cakap dengan temannya yang juga berasal dari Jawa tentang politik dan iptek, Namun, ketika berbicara tentang pengalaman mereka waktu kecil, bahasa yang digunakan adalah bahasa Jawa.
5. Untuk membangkitkan rasa humor.
            Bangkitnya rasa humor sangat diperlukan untuk menyegarkan suasana yang dirasa mulai lesu. Oleh karena itu, sering terjadi percakapan-percakapan humor antara pedagang dan pembeli didalam pasar hanya sekedar untuk menanbah keakraban maupun untuk memberikan pelayanan yang baik dari penjual kepada pembeli. Rasa humor juga ditunjukka oleh pembeli dengan maksud-maksud tertentu misalnya untuk mengakrabkan diri, tidak ada kecanggungan untuk melakukan transaksi dan diberikan harga yang murah ketika sudah merasa dekat melalui rasa humor yang diciptakan antara kedua unsur tersebut.
6. Untuk sekedar bergengsi
            Hal ini terjadi apabila faktor situasi, lawan bicara, topik dan faktor-faktor sosio-situasional yang lain tidak mengharuskan adanya alih kode. Alih kode yang terjadi karena faktor ini dikatakan bahwa dipandang satu bahasa lebih tinggi nilai sosialnya dibandingkan dengan bahasa yang lain.
Artikel Terkait

0 komentar :

Posting Komentar

 

Catatannya Didit Copyright © 2011-2015 | Powered by Blogger