a. Pengertian Sistem
Banyak pendapat tentang pegertian
sistim. Namun secara umum pengertian
sistem adalah sekelompok bagian-bagian yang bekerja sama secara keseluruhan
berdasarkan suatu tujuan ber-sama. Di dalam sistem masing-masing unsur saling
berkaitan, saling bergantung dan saling berinteraksi atau suatu kesatuan usaha
yang terdiri atas bagian-bagian yang berkaitan satu dengan yang lainnya, dalam
usaha untuk mencapai tujuan dalam lingkungan
yang kompleks. Pengertian
tersebut selaras dengan pendapat Johnson, Kast dan
Rosenwig,1973 sebagaimana dikutip oleh
Soenarya (2000) menyatakan
bahwa sistem adalah
suatu tatanan yang kompleks dan menyeluruh. Dengan kata lain, satu
kesatuan dari sesuatu sehingga merupakan kesatuan yang menyeluruh. Sedangkan Middleton
dan Wedemeyer,1985 memandang sistem sebagai kumpulan dari berbagai bagian
(unsur) yang saling tergantung yang bekerja sama sebagai suatu keseluruhan
untuk mencapai suatu tujuan, di mana hasil keseluruhan lebih berarti dari pada
hasil sejumlah bagian (Soenarya, 2000: 12).
Bachtiar (1985) mengemukakan
bahwa sistem adalah sejumlah satuan yang berhubungan satu dengan lainnya
sedemikian rupa sehingga membentuk satu kesatuan yang biasanya berusaha
mencapai tujuan tertentu.
Pada bagian yang
sama, Bachtiar menambahkan bawa
sistem adalah seperangkat ide atau gagasan, asas, metode dan prosedur yang
disajikan sebagai suatu tatanan yang teratur. Cleland dan King (1988)
menyatakan bahwa sistem adalah sekelompok sesuatu yang secara tetap saling
berkaitan dan saling bergantungan sehingga
membentuk suatu keseluruhan yang terpadu. Adapun menurut Poerwodarminto dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia (1988: 849) menyebutkan bahwa sistem adalah (1) seperangkat unsur
yang secara teratur saling berkaitan sehingga membentuk suatu totalitas, (2)
susunan yang teratur dari pandangan, teori, asas dan sebagainya, dan (3)
metode.
Mendasarkan pendapat
diatas, sesuatu dapat
dinamakan sistem bila terjadi hubungan atau interelasi dan
interdependensi baik internal maupun eksternal antarsubsistem. Interaksi,
interelasi, dan interdependensi itu disebut hubungan internal. Bila interaksi, interelasi,
dan interdependensi itu
terjadi antarsistem, hubungan itu
disebut hubungan eksternal.
Bila hubungan antarsubsistem atau
antarkomponen di mana hubungan itu terjadi
dengan sendirinya dan
tergantung dari subsistem atau
komponen lain, hubungan itu disebut hubungan determenistik. Sebaliknya,
bila hubungan itu
tidak pasti bahwa sesuatu itu dapat berfungsi, maka suatu
komponen tidak perlu bergantung pada suatu komponen yang lain. Bola lampu mempunyai
akibat deterministik terhadap penerangan karena tanpa bola lampu dengan
berbagai jenis dan bentuknya akan mengakibatkan
kegelapan. Namun terang
dan gelap lampu
tidak ada hubungannnya dengan
kipas angin. Hubungan yang demikian itu disebut nondeterministik.
Apabila terdapat pengaruh yang
menunjang, memperkuat, mempercepat fungsi perubahan atau pertumbuhan suatu
sistem atau subsistem, maka hubungan itu menimbulkan pengaruh yang
menghambat atau mencegah,
maka hubungan itu
disebut disfungsional. Lingkungan
merupakan batas antara suatu sistem dengan sistem lainnya. Makin terbuka suatu
sistem, makin perilakunya terpengaruh
oleh lingkungan. Lingkungan
suatu sistem merupakan pembeda antara suatu sistem dengan
sistem yang lain. Lingkungan dapat merupakan sumber yang memberikan kesempatan
kepada suatu sistem untuk berkembang dalam mencapai fungsi dan
tujuannya, atau sebaliknya
dapat pula merupakan penghambat.
b. Sistem Sosial
Salah satu
pendekatan di dalam
sosiologi yang menggali konsep sistem
sosial adalah pendekatan
fungsional struktural. Sudut pendekatan
tersebut menganggap bahwa
masyarakat, sebagai suatu sistem fungsional yang terintegrasi ke dalam
suatu bentuk equilibrium. Fungsional struktural memandang masyarakat seperti
layaknya organisme biologis yang terdiri dari komponen-komponen atomistis
dan memelihara hubungan
integratif sistemik agar metabolisme kehidupan masyarakat tetap terjaga.
Menurut Nasikun
(1984) pendekatan fungsional struktural sebagaimana telah dikembangkan
oleh Parson dan para pengikutnya,
dapat dikaji melalui
sejumlah asumsi dasar
sebagai berikut.
1) Masyarakat harus
dilihat sebagai suatu sistem di mana
di dalamnya terdapat bagian-bagian yang saling berhubungan antara satu
sama lain;
2) Dengan demikian hubungan
pengaruh mempengaruhi antar-
bagian
tersebut bersifat ganda dan interaktif;
3) Meskipun integrasi
sosial sulit mencapai
kesempurnaan, namun secara mendasar sistem sosial cenderung bergerak ke arah
equilibrium yang bersifat dinamis; menanggapi peruba-
han-perubahan
yang datang dari luar dengan kecenderungan memelihara agar
perubahan yang terjadi
di dalam sistem beserta akibatnya dapat
diminimalisasi;
4) Sekalipun disfungsi,
ketegangan-ketegangan dan penyimpangan-penyimpangan senantiasa
terjadi, namun dalam jangka panjang keadaan tersebut akan
berakhir pula melalui penyesuaian-penyesuaian
dan proses institusionalisasi. Dengan kata lain,
sekalipun integrasi sosial secara sempurna tidak pernah tercapai, akan tetapi
setiap sistem sosial akan senantiasa berproses ke arah tersebut;
5) Pada dasarnya,
perubahan-perubahan sosial timbul melalui tiga macam kemungkinan yaitu (1)
penyesuaian-penyesuaianyang dilakukan oleh sistem sosial itu terhadap
perubahan-perubahan yang datang
dari luar (extra
system change), (2) pertumbuhan melalui
proses diferensiasi struktural
dan fungsional, dan (3) serta
penemuan-penemuan baru oleh anggota-anggota masyarakat; dan
6) Faktor penting
yang memiliki kekuatan
mengintegrasikan sistem sosial adalah konsensus antaranggota masyarakat
tentang nilai-nilai tertentu.
Setiap masyarakat, menurut
pandangan fungsional struktural
selalu memiliki tujuan-tujuan dan prinsip-prinsip dasar
tertentu yang mendapat keyakinan kuat dari sebagian besar anggota masyarakat
dan dipercaya memiliki kebenaran mutlak.
Sistem nilai tersebut
bukan sekadar sumber kekuatan yang menyebabkan integrasi sosial, namun
sekaligus merupakan unsur yang menstabilkan sistem sosial budaya tersebut.
Dari beberapa
asumsi di atas
dapat disimpulkan bahwa sebuah sistem sosial merupakan sistem
dari tindakan-tindakan manusia. Ia terbentuk
dari interaksi sosial
yang terjadi antar berbagai individu, yang tumbuh dan
berkembang dalam standar penilaian umum serta mendapat kesepakatan bersama dari
para anggota masyarakat. Yang paling penting dari berbagai standar penilaian
umum adalah apa yang disebut sebagai norma-norma sosial. Norma-norma
sosial itulah yang
sesungguhnya membentuk struktur
sosial. Pengaturan interaksi sosial antaranggota masyarakat tersebut dapat
terjadi karena komitmen mereka terhadap norma-norma sosial menghasilkan daya
untuk mengatasi perbedaan pendapat dan
kepentingan-kepentingan
pribadi mereka, proses
ini memungkinkan bagi mereka
untuk menemukan keselarasan antarsatu sama lain sehingga pada
proses selanjutnya menghasilkan suatu tingkat integrasi sosial. Dalam posisi
tersebut, equilibrium terpelihara oleh berbagai proses dan mekanisme sosial.
Dua macam mekanisme sosial yang mengendalikan hasrat-hasrat para anggota demi
terpeliharanya kontinuitas sistem
sosial, adalah mekanisme
sosioalisasi dan pengawasan sosial (social control).
Dari anggapan-anggapan di atas
itulah para penganut fung-sional struktural menganggap bahwa disfungsi,
ketegangan-ketegangan, dan penyimpangan-penyimpangan sosial yang
mengaki-batkan terjadinya perubahan-perubahan masyarakat
sehingga memunculkan terjadinya diferensiasi sosial yang semakin komplek, adalah
akibat dari pengaruh-pengaruh yang datang dari luar.Namun anggapan-anggapan tersebut
memiliki beberapa kelemahan yang
melekat. Kelemahan tersebut terletak pada bahwa
pendekatan fungsional struktural
mengabaikan beberapa kenyataan,
antara lain:
1) Setiap struktur sosial selalu mengandung konflik dan kontra diksi-kontradiksi yang bersifat
internal, lalu pada gilirannya justru menjadi sumber terjadinya perubahan sosial;
2) Reaksi dari suatu sistem sosial terhadap
perubahan-perubahan yang datang dari luar (extra systeme change) tidak selalu
bersifat adjustive;
3) Sebuah sistem sosial dalam kurun waktu
tertentu dapat juga mengalami
konflik-konflik sosial yang bersifat visious circle;dan
4) Perubahan sosial tidak selalu terjadi secara
gradual melalui penyesuaian-penyesuaian
lunak, akan tetapi juga terjadi secara revolusioner (Nasikun, 1984: 15).
Dari beberapa asumsi tersebut
telah jelas bahwa pendekatan fungsional struktural terlalu menekankan asumsi
dasarnya pada peranan unsur-unsur normatif
dalam menelaah tingkah
laku sosial, khususnya proses-proses
yang paling mikro
di tingkat individu. Pandangan
tersebut menegaskan bahwa setiap individu merupakan kontributor
teknis yang melembagakan
tegaknya norma-norma sosial demi menjamin stabilitas sosial.
Pendekatan tersebut telah
melupakan hakikat dualistis yang selalu terkandung dalam realitas hidup. Salah
satunya realitas sosial bahwa selain
kemapanan empiris yang
mencerminkan tertibnya tatanan hidup ada sisi gelap yang terselubung dan
perlahan-lahan menjadi potensi
konflik yang bersifat
laten. Dalam konteks sosialnya,
istilah tersebut dinamakan sub-stratum, yakni disposisi-disposisi yang
mengakibatkan timbulnya perbedaanperbedaan life chances dan
kepentingan-kepentingan tertentu.Oleh karena itulah, maka pendekatan fungsional
struktural dipandang kurang lengkap dalam menelaah hakikat sistem sosial.
Beberapa ahli yang lalu mengkritisi
teori fungsional struktural
menambahkan analisisnya untuk
memperlengkap kajian sosiologi
tentang sistem sosial. Oleh masyarakat pendekatan mereka dinamakan pendekatan
konflik. Pendekatan tersebut memperhatikan
kekurangan-kekurangan yang melekat
di dalam fungsional
struktural lalu mencoba
menemukan formulasi teoretis yang
lebih representatif. Beberapa
asumsi yang dimiliki
oleh pendekatan konflik tersebut antara lain yaitu,
1) Setiap masyarakat senantiasa berada dalam
proses perubahan yang tidak pernah
berakhir atau dengan kata lain, perubahan sosial merupakan gejolak yang melekat
dalam setiap masyarakat;
2) Setiap masyarakat selalu mengandung
konflik-konflik yang terselubung,
atau dengan kata lain konflik adalah gejala yang niscaya ada di masyarakat manapun;
3) Setiap
unsur dalam suatu
masyarakat selalu memberikan sumbangan
terjadinya disintegrasi dan perubahan-perubahan sosial; dan
4) Setiap
masyarakat terintegrasi di
bawah kekuatan atau dominasi
golongan tertentu yang memiliki kekuasaan terhadap sebagian besar masyarakat
(Nasikun, 1984: 16-17).
Perubahan sosial
oleh para penganut
pendekatan konflik tidak saja
dipandang sebagai gejala yang melekat pada kehidupan masyarakat, namun lebih
dari itu merupakan sumber yang berasal dari
faktor-faktor internal di
dalam sebuah masyarakat.
Perubahan sosial muncul disebabkan oleh pertentangan unsur-unsur
sosial. Kontradiksi internal
tersebut bersumber pada
tegaknya sistem struktur yang tidak merata dalam level kekuasaan. Kenyataan
ini menjadi faktor munculnya dua entitas kepentingan yang senantiasa
bertentangan yakni, pengemban otoritas dan mereka mereka yang dikuasai.
Dari pendekatan konflik dapat
disadari satu substansi kodrat sosial yang tidak bisa dilupakan, yaitu dengan
perbedaan serta diferensiasi sosial bukanlah sekadar menjadi sarana penyokong
integrasi maupun fungsionalisasi peran. Perbedaan juga memiliki peran
kontroversial yang memicu merebaknya disintegrasi sosial. Kenyataan ini
mendorong terciptanya akomodasi
kepentingan yang mampu merombak
tatanan sosial untuk
menjadi lebih representatif dan
berdaya guna bagi masyarakat.
c. Sistem
Sosial di dalam Sekolah
Sebagai sistem sosial, sekolah
merupakan akumulasi komponen-komponen sosial integral yang saling berinteraksi
dan memiliki kiprah yang bergantung antara satu sama lain. Zamroni (2001)
menyatakan bahwa pendekatan
microcosmis melihat sekolah sebagai suatu dunia sendiri, yang di
dalamnya memiliki unsur unsur untuk bisa disebut suatu masyarakat, seperti
pemimpin, pemerintahan, warga masyarakat atau aturan dan norma-norma serta
kelompok-kelompok sosialnya.
Sesuai dengan
pendekatan fungsional struktural,
lembaga sekolah diibaratkan masyarakat
kecil yang memiliki
kekuatan organis untuk mengatur dan mengelola komponen-komponennya.
Bagian-bagian tersebut diatur
dan terintegrasi dalam
naungan sistem kendali sosial berwujud organisasi formal. Pedoman formal
merupakan rujukan fundamental dari seluruh latar belakang sikap dan perilaku
para pengemban status dan peran di sekolah.
Pendekatan fungsional struktural
melihat lingkungan sekolah pada hakikatnya merupakan susunan dari peran dan
status yang berbeda-beda, dimana masing-masing
bagian tersebut terkonsentrasi pada satu kekuatan legal
struktural yang menggerakkan daya orientasi demi mencapai tujuan tertentu.
Tentu saja sistem sosial tersebut bermuara
pada status sekolah
sebagai lembaga formal.
Keberadaan guru, siswa, kepala
sekolah, psikolog atau konselor sekolah, orang tua, siswa, pengawas,
administratur merupakan komponen-komponen fungsional yang berinteraksi secara
aktif dan menentukan segala macam perkembangan dinamika kehidupan
sekolah sebagai organisasi pendidikan formal. Sehingga di sini fungsional
strukural melandasi pandangan kita untuk melihat berbagai peran dan status
formal di sekolah sebagai satu-satunya pedoman
mendasar atas segala
aktivitas yang dilakukan
oleh warganya. Seluruh warga pengemban
kedudukan telah tersosialisasi norma-norma sekolah
sesuai dengan porsi
statusnya sehingga menyokong terbinanya stabilitas sosial dalam sekolah.
Manifestasi peran mendasar
norma-norma sekolah telah mengikat warganya dalam nuansa integritas kesadaran
yang tinggi.Sementara itu, pendekatan konflik lebih menekankan porsi penilaian
subjektif para pelaku peran di sekolah dan konsekuensi objektif atas wujud
sekolah sebagai lembaga yang memelihara sistem kekuasaan. Pendekatan konflik
melihat sisi lain dari tertibnya
perilaku masyarakat sekolah
dalam mengamalkan hasrat-hasrat individunya yang senantiasa
patuh pada kekuatan normatif.
Lockwood melihat bahwa setiap
situasi sosial selalu mengandung dua hal yakni tata tertib sosial yang bersifat
normatif serta sub-stratum yang melahirkan konflik. Tumbuhnya sistem nilai
normatif sebagai acuan utama para pelaku peran di sekolah bukan berarti melenyapkan
potensi-potensi konflik. Oleh
sebab itu,stabilitas sosial yang
dicerminkan oleh pengaturan peran dan status
seperti guru, kepala
sekolah, pejabat struktural
sekolah, pengawas sekolah, murid, administratur sekolah, orang tua
siswa, petugas kebersihan pada dasarnya mencerminkan bentuk pengaturan manifes
atas masing-masing kepentingan yang sebenarnya saling bertentangan.
Secara lebih radikal beberapa
penganut pendekatan konflik menegaskan bahwa tatanan sosial yang ada (termasuk
di sekolah) merupakan hasil kekuasaan
dominan baik itu bersumber
dari paksaan secara fisik
maupun kekerasan simbolik (symbolic violence). Artinya kelas
sosial dominan memiliki simbol-simbol sosial yang menghegomoni kesadaran
seluruh anggota agar sejalur dengan sistem nilai objektif yang pada hakikatnya
banyak berpihak pada golongan atau kelas yang berkuasa.
Di dalam sekolah, seorang kepala
sekolah selain memiliki kedudukan
formal sebagai pemimpin
sekolah ternyata juga mengindikasikan pertentangan kepentingan
dan otonomi status lain yang lebih rendah, misalnya para guru, staf-staf
administrasi dan sebagainya. Terhadap guru, ketika seorang kepala sekolah menjalankan
fungsi formalnya, maka ada titik pertentangan yang menggoyahkan otonomi
peran guru dalam
mengelola belajar mengajar. Di
satu sisi kepala sekolah breharap agar siswa berhasil dalam belajar dengan
proses pengajaran yang efektif, efisien serta mampu mencapai target penguasaan
materi yang banyak. Di sisi lain,
harapan yang melambangkan
kepentingan status kepala sekolah tersebut tentunya membebani
peran sekaligus otonomi kedudukan guru dalam mengelola pembelajaran di kelas.
Faisal dan Yasik (1985)
menyatakan bahwa dari pendekatan konflik bisa ditarik dua asumsi dasar yang
muncul pada lembaga sekolah. Sebuah lembaga
yang memiliki tujuan
tertentu dan memelihara banyak
status yang berbeda
serta memiliki peran fungsional. Aneka ragam status tersebut
dikelola melalui fungsi-fungsi otoritas legal formal dengan memanfaatkan
prinsip-prinsip birokrasi. Dua asumsi tersebut yakni:
1) Potensi
konflik dalam mengintegrasikan pemahaman
satu tujuan sekolah kepada
para pemegang status yang berbeda-beda. Untuk satu tujuan pendidikan,
masing-masing pengemban posisi akan memiliki daya tangkap sektoral yang
berbeda-beda dalam mengartikan
hasil maupun proses
pencapaian tujuan.
2) Sulitnya meraih kesamaan persepsi mengenai
batas peran dan posisi pendidikan. Sebagai
dampaknya, keadaan tersebut memicu
konflik internal lintas posisi. Yang dimaksud konflik peranan internal
adalah konflik harapan
antarpihak dari pemegang posisi
peran di sekolah.
Para guru dihadapkan dengan harapan
yang saling bertentangan
dengan kepala sekolahnya, penilik,
petugas konseling, administratur pendidikan, orang tua murid dan bahkan dari
muridnya sendiri.
Dari
dua pendekatan utama di atas (fungsional struktural dan konflik) dapat
diambil kesimpulan bahwa
sekolah bukanlah sekadar kumpulan
yang terdiri dari para pelaksana administrasi, guru dan
murid dengan segala
sifat dan pembawaan
mereka masing-masing (Horton dan
Hunt, 1999: 333).
Lebih dari itu, sekolah merupakan suatu sistem sosial
yang di dalamnya terdapat seperangkat
hubungan mapan, interaksi,
konfrontasi, konflik, akomodasi,
maupun integrasi yang menentukan dinamika para warganya di sekolah. Oleh sebab
itu, di dalam sekolah akan selalu mengandung unsur-unsur dan proses-proses
sosial yang kompleks seperti
halnya dinamika sosial masyarakat umum .
Beberapa
unsur tersebut memproduk konsep-konsep sosial di dalam sekolah yakni sebagai
berikut.
1) Kedudukan
dalam Sekolah
Sekolah,
seperti sistem sosial lainnya dapat dipelajari berdasarkan kedudukan anggota
dalam lingkungannya. Setiap orang di dalam sekolah memiliki persepsi dan
ekspektasi sosial terhadap kedudukan atau status yang melekat pada diri warga
sekolah. Di sana kita memiliki pandangan tentang kedudukan kepala sekolah,
guru-guru, staf administrasi, pesuruh, murid-murid serta asumsi-asumsi hubungan
ideal antarbermacam kedudukan tersebut. Hal ini
selaras dengan pendapat
Weber (dalam Robinson, 1981)
tentang konsep tindakan sosial, dimana setiap orang memiliki ideal type untuk
mengukur dan menentukan parameter mendasar tentang sebuah realitas. Realitas
sosial yang tersebar dalam status sosial
menjadi titik tolak
kesadaran seorang individu
untuk menentukan sikap, pandangan dan tindakan dalam lingkup sosial tertentu.
Harapan ideal “kepala sekolah” merupakan kesadaran awal yang mempengaruhi sikap
individu seorang pejabat kepala sekolah. Meskipun pada proses selanjutnya harus
terkombinasi dengan pembawaan individu,
prasangka terhadap status
lain, hubungan-hubungan
antarstatus serta kaitannya
dengan konstruksi total dari
susunan status di sekolah. Dalam
mempelajari struktur sosial
sekolah kita analisis berbagai anggota menurut kedudukannya
dalam sistem persekolahan. Beberapa kedudukan di bentuk dan dibangun
berdasarkan sistem klasifikasi sosial di antaranya adalah,
a) Kedudukan berdasarkan jenis kelamin, akan mengidentifikasi pelakunya
pada perbedaan seks atau kelamin bu guru, pakguru, murid putri, siswa lelaki,
pak kepala sekolah dan lain sebagainya. Secara sosial kedudukan berdasarkan
seks merupakan pembedaan ruang orientasi atas dasar perbedaan fisik.
Pembedaan tersebut merupakan
dampak kultural dari masyarakat yang lebih luas, dimana
perbedaan kelamin masih mengkisahkan pembagian kerja, hak, serta ruang gerak
yang berbeda pula. Namun secara struktural pembedaan jenis kelamin tidak begitu
mempengaruhi kualitas penerapan ketentuan formal sebuah lembaga. Seorang kepala
sekolah wanita tetap saja memiliki otoritas atau kewenangan kekuasaan terhadap
para guru lelaki maupun wakasek laki-laki.
b) Kedudukan berdasarkan struktur formal di lembaga, misalnya kepala
sekolah, guru, staf administrasi, pesuruh, siswa dan lain sebagainya. Kategori
kedudukan ini dilandasi oleh ketentuan-ketentuan formal yang melembagakan
serangkaian peran dan pemetaan kewenangan struktural berdasarkan pembagian
wilayah kekuasaan yang
bersifat hierarkis. Sesuai
dengan formasi struktur lembaga sekolah maka masing-masing posisi
menggambarkan tingkat kekuasaan yang bertingkat-tingkat. Posisi teratas
menggambarkan puncak pengakuan
otoritas tertinggi lalu secara gradual makin berkurang pada
posisi-posisi di bawahnya.
c) Kedudukan berdasarkan usia. Pengakuan terhadap kategori sosial
ini didasarkan konstruksi sosial sekolah sebagai lembaga pendidikan. Berangkat
dari pengertian tentang
pengajaran
sebagai
sumber dari keberadaan sekolah dan segala aktivitas kelembagaannya. Sementara
proses pengajaran tidak
lepas dari hubungan antara pengajar dengan yang belajar. Maka bisa
ditangkap indikasi kecenderungan
dalam lembaga sekolah untuk mengutamakan sistem nilai
berdasarkan usia. Mereka yang tua dikontruksikan sebagai pengajar, teladan,
sumber nilai kebaikan, pengontrol moral, berkemampuan tinggi dan lain
sebagainya. Oleh sebab itu, pengakuan kedudukan berdasarkan usia sangat kental
sekali melekat dalam orientasi warga sekolah.
d) Kedudukan berdasarkan lahan garap di sekolah.
Pada dasar nya tiap-tiap
status di sekolah
akan membentuk wilayahwilayah sektoral sesuai dengan ruang
lingkup pekerjaan. Di
kelas
jenis status yang paling dominan berperan adalah status guru dan murid. Sementara di wilayah birokrasi
akan memperlihatkan kontak sosial antara pengurus administrasi baik itu
kepala bagian, sekretaris,
bendahara sekolah serta
staf-stafnya. Di tingkat pelayanan administrasi akan melibatkan pegawai
administrasi dengan para siswa, guru-guru dan lain sebagainya.
2)
Interaksi di Sekolah
Menurut Horton dan Hunt (1999)
sistem interaksi di sekolah dapat ditinjau dengan menggunakan tiga perspektif
yang berbeda, yakni:
a) Hubungan antara warga sekolah dengan
masyarakat luar
b) Hubungan
di internal sekolah lintas
kedudukan dan peranannya.
c) Hubungan antarindividu pengemban status atau
kedudukan yang sama.
Dalam kategori pertama, hubungan
interaktif antara orang dalam
dengan orang luar
mencerminkan keberadaan sekolah sebagai bagian masyarakat. Para guru,
murid dan seluruh warga di sekolah juga
pengemban status-status lain
di masyarakat. Sehingga interaksi
di sekolah merupakan kombinasi berbagai nilai dari masyarakat yang dibawa oleh
para warga sekolah. Para guru, kepala sekolah, murid-murid juga bagian dari
masyarakat mereka. Mereka membawa sikap dan perilaku ke sekolah, sebagai hasil
dari hubungan dengan tetangga, teman, gereja, partai politik dan berbagai ragam
kelompok kepentingan.
3)
Klik Antar Siswa
Pengelompokan atau pembentukan
klik mudah terjadi di sekol ah . Suatu klik terbentuk bila dua orang atau lebih
menjalin persah ab atan sehingga dalam keseharian telah ter kat pada kehidupan
bersama baik didalam maupun di luar sekolah . Mereka saling merasakan apa yang
di alami salah satu an g ota kel om-pokn ya dan mampu men gun gkap perasa n yan
g selama ini tersembunyi , seperti hubungan mereka dengan orang tua atau dengan jenis kelamin lain serta kesulitan
pribadi-pribadi lainya.
Keangotaan klik bersifat sukarela
dan tak formal. Seorang diterima atau di tol ak atas persetuj uan bersama. Wal
aupun klik tidak mempun yai peraturan yang jelas, namun ada nilai-nilai yang di
jadikan dasar untuk menerima anggota baru.
Anggota klik merasa diri bersatu
dan merasa diri kuat, penuh dengan kepercayaan berkat rasa persatuan dan
kekompakan. Mereka mengutamakan kepen tingan kelompok di atas kepen-tingan in
dividual dan sikap ini dapat menimbul kan konflik dengan orang tua, sekolah ,
dan klik- klik lainn ya. Bila klik ini mempunyai sikap anti sosial maka klik
itu dapat menjadi “geng”. Orang luar, khususnya orang tua dan guru sering tidak
dapat memahami makna klik bagi anggota- anggotan ya. Akibatnya mereka justru
makin kompak dengan kelompoknya sehingga memicu kesadaran bersama untuk sama-
sama membebaskan diri dari kekuasan dan pengaw asan oran g tua, sekol ah dan
lembaga-lembaga lai nya. Dari kelompoknya seorang anggota yakin mendapat
bantuan penuh namun sebaliknya harus mampu menunjukan loyalitas yang tinggi
pada kelompok. Mereka yang ti dak patuh akan mendapat klaim sebagai
pengkhianat.
Faktor yang paling penting dalam
pembentukan klik adalah usia atau tingkat kelas. Suatu klik jarang beranggotakan
anak yang berusia dua tahun lebi h. Selain itu klik biasanya beranggotakan murid dari jenis
kelamin yang sama. Tidak ada bukti yang menunjukan pembentukan klik berdasarkan
prestasi akademis atau intelegen si . Menurut pengamatan suatu kl i k merupakan
kelompok minat atau kegemaran yang serupa, misalnya musik, olahraga dan
sebagainya. Klik juga mengambarkan struktur sosi al masyarakatnya.
Klik menunjukkan stratifikasi
sosial yang terdapat dalam masyarakat tempat sekolah itu berada. Murid-murid
pada umumnya memilih teman dari golongan anak yang sec ara sosi al ekonomi memiliki
kedudukan sama. Kli k- klik yang muncul di sekolah beragam wujudnya, tergantung
pada perbedaan murid. Ada kemungkinan terbentuknya kelompok berdasarkan
kesukuan dari kalangan siswa satu daerah atau karena mereka merupakan minoritas.
Ada kelompok “elite” yang terdiri atas an ak- anak orang kaya atau menunjukan
prestasi akademis tinggi dan kepribadian tinggi. Adapula kelompok rendahan ,
yang berasal dari keluarga tidak berpendidikan.
Ketika sekolah dapat mengelola
perbedaan-perbedaan tersebut dan mengakomodasi para siswanya, kemudian memberi
wadah dalam bentuk organisasi –organisasi yang bersifat positif tentunya akan
menjadikan sekolah kokoh dan semakin
berprestasi.
Artikel Terkait
0 komentar :
Posting Komentar