Menurut T. May Rudy (2002:131) pada
umumnya hanya negara-negara yang memenuhi syarat ketatanegaraan menurut hukum
internasional dan organisasi internasional yang dapat menjadi peserta dan dapat mengadakan perjanjian
internasional. Tetapi kemudian
pernyataan tersebut di atas dilengkapi oleh I Wayan Parthiana (2002:18),
yang menyatakan bahwa semua subjek hukum internasional adalah pemegang hak dan
kewajiban berdasarkan hukum internasional, termasuk memiliki hak untuk
mengadakan ataupun menjadi pihak atau peserta pada suatu perjanjian
internasional. Namun bukan berarti semua subjek hukum internasional memiliki
kemampuan untuk mengadakan ataupun sebagai pihak atau peserta pada perjanjian
internasional. Dengan kata lain, tidak semua subjek hukum internasional
memiliki kapasitas yang sama. Ada
yang memiliki kapasitas atau kemampuan penuh (full capacity), ada yang memiliki kemapuan lebih terbatas, bahkan
ada yang sama sekali tidak memiliki kemampuan untuk mengadakan perjanjian
internasional. Sebagai contoh, individu dapat diakui sebagai subjek hukum
internasional sepanjang hak-hak dan kewajiban-kewajiban individu tersebut
termasuk dalam masalah masyarakat dan hukum internasional. Tegasnya subjek-subjek hukum internasional
yang memiliki kemampuan untuk mengadakan perjanjian internasional adalah :
1.
Negara
2.
Negara bagian
3.
Tahta suci atau Vatikan
4.
Wilayah Perwalian
5.
Organisasi Internasional
6.
Kaum Beligerensi
7.
Bangsa-bangsa yang sedang
memperjuangkan haknya (I Wayan Parthiana, 2002:14).
Selanjutnya negara sebagai subjek
hukum internasional yang memiliki kemampuan penuh untuk mengadakan perjanjian
internasional, pada prakteknya tidak hanya mengadakan perjanjian antar negara
dengan negara atau antar pemerintah (Government
to Government/G to G) tetapi juga sering melibatkan instansi/lembaga hukum di
dalam negara atas nama pemerintah dalam melakukan praktek kerjasama/perjanjian
internasional.
Seperti disampaikan di muka bahwa
lembaga hukum pada suatu negara juga memiliki kemampuan untuk mengadakan
perjanjian internasional dikarenakan badan-badan hukum tersebut termasuk
dalam sistem hukum nasional dengan kata lain bisa berkedudukan sebagai subjek
hukum internasional tetapi juga bisa berkedudukan sebagai subjek hukum
nasional. Maka dalam hal ini akan timbul suatu pertanyaan, bagaimana suatu
lembaga hukum seperti Universitas Negeri Yogyakarta dapat melakukan perjanjian
internasional?. Jawabannya dapat dilihat pada peraturan perundang-udangan yang
mengatur mekanisme hubungan luar negeri dan perjanjian internasional
lembaga-lembaga negara, yaitu Undang-undang nomor 37 tahun 1999 tentang
hubungan luar negeri, Undang-undang nomor 24 tahun 2000 tentang Perjanjian
Internasional dan Petunjuk pembuatan perjanjian internasional di lingkungan
Departemen Pendidikan Nasional yang dikeluarkan oleh Biro kerjasama luar negeri
Depdiknas tahun 2000.
Dalam Pasal 1 ayat 1 Undang-undang
nomor 37 Tahun 1999 tentang hubungan luar negeri, dikatakan bahwa yang dimaksud
dengan hubungan luar negeri adalah setiap kegiatan yang menyangkut aspek
regional dan internasional yang dilakukan oleh Pemerintah tingkat pusat dan
daerah, atau lembaga-lembaganya, lembaga negara, badan usaha, organisasi
politik, organisasi masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, atau warga Negara
Indonesia. Karena Universitas Negeri Yogyakarta termasuk lembaga negara di bawah
Departemen Pendidikan Nasional maka dapat melakukan kegiatan internasional
termasuk membuat perjanjian internasional. Namun dalam hal membuat perjanjian
internasional tersebut Universitas Negeri Yogyakarta harus terlebih dahulu
berkonsultasi dengan Menteri Pendidikan Nasional sebagaimana diatur
Undang-undang Nomor 37 Tahun 1999 pasal 13 :
“Lembaga Negara dan lembaga pemerintah, baik departemen maupun non
departemen yang mempunyai rencana untuk membuat perjanjian internasional terlebih
dahulu melakukan konsultasi mengenai rencana tersebut dengan menteri”
Kemudian diatur lebih lanjut melalui
Undang-undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional khususnya
pasal 5 ayat 1 yang bunyinya hampir sama :
“Lembaga Negara dan lembaga pemerintah, baik departemen maupun non
departemen yang mempunyai rencana untuk membuat perjanjian internasional terlebih
dahulu melakukan konsultasi dan koordinasi
mengenai rencana tersebut dengan
menteri”
Adanya penambahan kata “koordinasi”
pada pasal 5 ayat 1 tersebut menunjukkan aturan yang lebih spesifik mengenai
peraturan pembuatan perjanjian luar negeri lembaga pemerintah daripada aturan
sebelumnya.
Sebenarnya aturan yang lebih lengkap
mengenai pembuatan perjanjian di lingkungan lembaga pemerintah khusunya
Departemen Pendidikan Nasional dapat dilihat pada Informasi Pembuatan Perjanjian
Internasional yang merupakan pedoman pembuatan perjanjian baku di lingkungan Departemen Pendidikan
Nasional. Dalam Bab IV pedoman pembuatan perjanjian internasional tersebut dijelaskan
bahwa yang dimaksud perjanjian internasional, meliputi beberapa jenis kerja
sama luar negeri yang berbentuk kerjasama :
a.
Antar pemerintah (Government to Government/G to G)
Kerjasama luar negeri G to G ini dimaksudkan sebagai kerjasama luar negeri antar
pemerintah Republik Indonesia/Departemen Pendidikan Nasional dan pemerintah
negara asing secara bilateral.
b.
Antar pemerintah dan orgnisasi
non pemerintah (Government to Non
Government Organization/G to NGO).
Kerjasama luar negeri G to NGO ini dimaksudkan sebagai kerjasama luar negeri antar
pemerintah Republik Indonesia/Departemen Pendidikan Nasional dan badan/organisasi
non pemerintah asing (swasta).
c.
Kerjasama Khusus (University to University/U to U)
Kerjasama luar negeri secara khusus ini dimaksudkan
kerjasama luar negeri antar lembaga pendidikan tinggi/universitas di Indonesia
dan di luar negeri. Kerjasama tersebut sering disebut kerjasama antar
universitas yang diatur dalam keputusan
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, No. 223/U/1998 tentang
“Kerjasama antar Perguruan Tinggi” dan Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan
Tinggi, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia,
No.003/DIKTI/Kep 99 tentang “Petunjuk Pelaksanaan Kerjasama Perguruan Tinggi di
Indonesia dengan Perguruan Tinggi/Lembaga lain di luar negeri”.
Kerjasama Perguruan Tinggi di
Indonesia, di dalam hal ini dimaksudkan sebagai kerjasama perguruan tinggi yang
berada di Indonesia
dengan perguruan tinggi di luar negeri dengan bentuk lembaganya adalah akademi,
politeknik, sekolah tinggi, institut dan universitas. Kerjasama ini meliputi :
a.
Kontrak manajemen
b.
Program kembaran
c.
Penelitian
d.
Pengabdian kepada masyarakat
e.
Tukar menukar dosen dan/atau
mahasiswa dalam pelaksanaan kegiatan akademik.
f.
Pemanfaatan sumber data dalam
pelaksanaan kegiatan akademik
g.
Program pemindahan kredit
h.
Penerbitan bersama karya ilmiah
i.
Penerbitan bersama kerja ilmiah
j.
Penyelenggaraan bersama
pertemuan ilmiah atau kegiatan ilmiah lainnya.
Mengenai persyaratan kerjasama luar negeri secara umum
meliputi hal-hal sebagai berikut :
a.
tidak ada ikatan politik apapun
b.
mitra sejajar
c.
tidak semata-mata mencari
keuntungan
d.
tersedia tenaga
pendamping/pengelola dan sarana
e.
kejelasan kegiatan program
f.
kejelasan sumber dana untuk
pembiayaan
g.
kontribusi program/kegiatan
kerja sama.
Artikel Terkait
0 komentar :
Posting Komentar